Nama Erick Thohir kian melejit setelah menjadi pemilik dan presiden klub sepak bola Italia Internazionale Milano atau yang lebih dikenal dengan nama Inter Milan sejak pertengahan tahun ini. Siapakah Erick yang sedang jadi buah bibir di negeri spageti tersebut? Tak tanggung-tanggung. Pria kelahiran Jakarta, 30 Mei 1970 itu rela merogoh kocek hingga 300 juta euro atau setara Rp 4,6 triliun, demi mendapatkan 75% saham Nerazzurri.
Lalu bagaimana sepak terjang Erick di dunia bisnis, berikut ringkasannya seperti dikutip dari New York Times, goal.com, AsiaNews.It, dan beberapa sumber lainnya :
Belajar Bisnis dari Ayah
Darah bisnis pria berusia 43 tahun ini mengalir dari ayahnya Teddy Thohir, yang merupakan salah satu pendiri Astra International bersama William Soeryadjaya. Saat alumnus National University, California tersebut kembali dari Amerika Serikat pada 1993, dan langsung membantu perusahaan milik keluarga yang bergerak di pertambangan batu bara, properti, restoran serta otomotif.
Pemilik Grup Mahaka ini diberi tugas untuk menangani bisnis makanan yaitu Hanamasa dan Pronto. Namun rencana ekspansi harus terhambat karena tingginya suku bunga bank saat krisis moneter 1998.
Kiprah Erick di usaha keluarganya terhenti saat ia bersama dengan teman-teman kuliahnya di AS seperti M. Lutfi, Wisnu Wardhana, dan Harry Zulnardy mengajak untuk membuka usaha pada 1998. Obrolan yang pernah mereka bicarakan semasa kuliah.
Erick yang memang senang tantangan menyambut baik rencana sahabatnya itu. Rencananya sempat mendapat penolakan dari keluarganya, yang minta Erick untuk melanjutkan saja usaha keluarganya.
Semakin dihalangi, Erick makin ngotot akhirnya keluarganya menyetujui langkahnya. Dengan satu syarat, jika dia membangun bisnis sendiri, Erick tak boleh ikut terlibat dalam operasional, cukup menjadi komisaris. Seluruh usaha keluarga dilanjutkan Boy Thohir yang saat ini menjadi pengusaha yang sangat disegani di Indonesia dan masuk dalam daftar orang terkaya versi majalah Forbes.
Setelah lepas dari bisnis keluarga, Erick dan teman-temannya pun memulai bisnis trading mulai dari semen, kapur hingga beras. Bisnis yang dijalani keempatnya sukses. Lalu didirikanlah mendirikan Mahaka Group, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, keuangan dan media.
Lewat kibaran bendera Grup Mahaka, pada 1999, membangun Radio One Jakarta. Berikutnya, November 2000, membeli harian Republika yang saat itu berada di ambang kebangkrutan.
Karena belum berpengalaman di bisnis media, ia mendapat bimbingan dari ayahnya serta Jakob Oetama dari Kompas dan Dahlan Iskan dari Jawa Pos.
Erick menjadi Presiden Direktur PT Mahaka Media hingga 30 Juni 2008, ia kemudian menjabat sebagai komisioner sejak Juni 2010 hingga kini.
Mahaka Group kemudian membeli pula Harian Indonesia dan diterbitkan ulang dengan nama Sin Chew-Harian Indonesia dengan konten editorial dan pengelolaan dari Sin Chew Media Corporation Berhad yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia. Media ini kemudian dikelola secara independen oleh PT Emas Dua Ribu, mitra perusahaan Mahaka Media.
Hingga 2009, Grup Mahaka telah berkembang dan menguasai majalah a+, Parents Indonesia, dan Golf Digest Sementara untuk bisnis media surat kabar: Sin Chew Indonesia dan Republika Stasiun TV: JakTV, stasiun radio GEN 98.7 FM, Prambors FM, Delta FM, dan FeMale Radio.
Selain di bidang media Erick juga memiliki usaha dibidang periklanan, jual-beli tiket, serta desain situs web. Ia juga pendiri dari organisasi amal Darma Bakti Mahaka Foundation dan Dompet Dhuafa Republika, serta menjadi Presiden Direktur VIVA grup, dan Beyond Media.
Perjalanan karier Erick tak lepas dari pengaruh teman-teman terbaiknya, yaitu M. Lutfi, Wisnu Wardhana, dan Harry Zulnardy. Erick bercerita, keberhasilan bisnis trading yang dijalaninya berkat kerja sama yang kompak antara ia dan rekan-rekannya. Menurut dia, Lutfi tukang lobi yang bagus, Erick pedagang yang bagus, Wisnu tukang hitung yang bagus dan Harry treasury yang bagus.
Lalu bagaimana sepak terjang Erick di dunia bisnis, berikut ringkasannya seperti dikutip dari New York Times, goal.com, AsiaNews.It, dan beberapa sumber lainnya :
Belajar Bisnis dari Ayah
Darah bisnis pria berusia 43 tahun ini mengalir dari ayahnya Teddy Thohir, yang merupakan salah satu pendiri Astra International bersama William Soeryadjaya. Saat alumnus National University, California tersebut kembali dari Amerika Serikat pada 1993, dan langsung membantu perusahaan milik keluarga yang bergerak di pertambangan batu bara, properti, restoran serta otomotif.
Pemilik Grup Mahaka ini diberi tugas untuk menangani bisnis makanan yaitu Hanamasa dan Pronto. Namun rencana ekspansi harus terhambat karena tingginya suku bunga bank saat krisis moneter 1998.
Kiprah Erick di usaha keluarganya terhenti saat ia bersama dengan teman-teman kuliahnya di AS seperti M. Lutfi, Wisnu Wardhana, dan Harry Zulnardy mengajak untuk membuka usaha pada 1998. Obrolan yang pernah mereka bicarakan semasa kuliah.
Erick yang memang senang tantangan menyambut baik rencana sahabatnya itu. Rencananya sempat mendapat penolakan dari keluarganya, yang minta Erick untuk melanjutkan saja usaha keluarganya.
Semakin dihalangi, Erick makin ngotot akhirnya keluarganya menyetujui langkahnya. Dengan satu syarat, jika dia membangun bisnis sendiri, Erick tak boleh ikut terlibat dalam operasional, cukup menjadi komisaris. Seluruh usaha keluarga dilanjutkan Boy Thohir yang saat ini menjadi pengusaha yang sangat disegani di Indonesia dan masuk dalam daftar orang terkaya versi majalah Forbes.
Setelah lepas dari bisnis keluarga, Erick dan teman-temannya pun memulai bisnis trading mulai dari semen, kapur hingga beras. Bisnis yang dijalani keempatnya sukses. Lalu didirikanlah mendirikan Mahaka Group, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, keuangan dan media.
Lewat kibaran bendera Grup Mahaka, pada 1999, membangun Radio One Jakarta. Berikutnya, November 2000, membeli harian Republika yang saat itu berada di ambang kebangkrutan.
Karena belum berpengalaman di bisnis media, ia mendapat bimbingan dari ayahnya serta Jakob Oetama dari Kompas dan Dahlan Iskan dari Jawa Pos.
Erick menjadi Presiden Direktur PT Mahaka Media hingga 30 Juni 2008, ia kemudian menjabat sebagai komisioner sejak Juni 2010 hingga kini.
Mahaka Group kemudian membeli pula Harian Indonesia dan diterbitkan ulang dengan nama Sin Chew-Harian Indonesia dengan konten editorial dan pengelolaan dari Sin Chew Media Corporation Berhad yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia. Media ini kemudian dikelola secara independen oleh PT Emas Dua Ribu, mitra perusahaan Mahaka Media.
Hingga 2009, Grup Mahaka telah berkembang dan menguasai majalah a+, Parents Indonesia, dan Golf Digest Sementara untuk bisnis media surat kabar: Sin Chew Indonesia dan Republika Stasiun TV: JakTV, stasiun radio GEN 98.7 FM, Prambors FM, Delta FM, dan FeMale Radio.
Selain di bidang media Erick juga memiliki usaha dibidang periklanan, jual-beli tiket, serta desain situs web. Ia juga pendiri dari organisasi amal Darma Bakti Mahaka Foundation dan Dompet Dhuafa Republika, serta menjadi Presiden Direktur VIVA grup, dan Beyond Media.
Perjalanan karier Erick tak lepas dari pengaruh teman-teman terbaiknya, yaitu M. Lutfi, Wisnu Wardhana, dan Harry Zulnardy. Erick bercerita, keberhasilan bisnis trading yang dijalaninya berkat kerja sama yang kompak antara ia dan rekan-rekannya. Menurut dia, Lutfi tukang lobi yang bagus, Erick pedagang yang bagus, Wisnu tukang hitung yang bagus dan Harry treasury yang bagus.